Relasi Nasional | Bermula pada tahun 1995, Yudi Hidayat yang masih berumur 11 tahun mulai menekuni kegiatan warisan budaya yaitu menjadi pengrajin Rencong. Membuat senjata khas Aceh ini menjadi profesinya sejak ia masih usia remaja dan kala itu Aceh dalam kondisi darurat militer, yaitu kontak senjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Republik Indonesia.
Pemuda kelahiran 1984 ini menetap di gampong Baet Mesjid Sukamakmu, Kecamatan Sibreh, Kabupaten Aceh Besar mahir membuat senjata khas Aceh sebagai benda Souvenir atau oleh-oleh dan juga bisa sebagai benda tajam yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat Aceh.
Pada masa konflik, rencong sangat laku dan sangat diminati oleh anggota TNI sebagai oleh-oleh khas Aceh, sebagai cendramata yang bisa di pajang dirumah ataupun di kantornya.
Kegiatan melestarikan budaya Aceh ini terus ditekuninya hingga saat ini sebagai bukti kecintaannya untuk Aceh dan untuk membantu ekonomi diri sendiri dan warga sekitar.
"Alhamdulillah dengan menekuni pekerjaan ini, saya dapat membantu membangkitkan ekonomi keluarga dan warga sekitar, dan saat ini saya menjadi distributor rencong di berbagai toko Souvenir di Aceh".
Harga yang terjangkau menjadikan pemilik toko senang mengambil barang dari Yudi "harganya bervariasi mulai dari 10 ribu hingga 150 ribu, tergantung ukuran dan jenis bahan bakunya, ada juga yang lebih mahal lagi dan itu tergantung pesanan konsumen". ungkapnya.
Ziaul Fahmi, salah seorang konsumen yang datang langsung ke kediaman Yudi mengatakan, barang yang dihasilkan oleh pengrajin Rencong Gampong Baet Mesjid ini sangat bagus dan berkualitas.
"Pembuatannya bagus dan sangat rapi, kali ini saya membeli 8 rencong dengan ukuran bervariasi untuk saya kasih sebagai cendramata kepada teman saya di pulau Jawa". ungkap Ziaul.
Yudi mengatakan oleh-oleh Rencong ini banyak diminati oleh orang luar Aceh dan tamu dari mancanegara, seperti Malaysia dan negara tetangga lainnya.
Sebelumnya, setelah bencana alam Gempa dan Tsunami melanda Aceh tahun 2004, Rencong juga terjual banyak kepada relawan asing yang datang ke Aceh, disitulah cendramata ini semakin terkenal ke berbagai belahan dunia.
Selama menjadi pengrajin dan distributor, Yudi bisa meraih keuntungan sekitar 3 juta rupiah dalam setiap bulannya.
"Dulu penghasilannya sangat memuaskan, tetapi semenjak dilanda Covid-19 ini, omset saya jadi turun drastis menjadi 1 juta setiap bulannya, karena tidak ada lagi tamu-tamu yang datang ke Aceh dan tidak ada lagi even-even nasional yang diadakan di Aceh"
"Semoga kondisi ini segera membaik dan pemerintah Aceh dapat mengadakan kembali even-even bertaraf Nasional dan Internasional di Aceh untuk mendongkrak kembali perekonomian warga Aceh yang telah anjlok semesa Covid-19". Tutup Yudi.
"Saya juga berharap kepada pemuda Aceh untuk selalu ikut serta melestarikan Adat dan Budaya Aceh supaya tidak punah, selalu ikut mendukung dan memasarkan produk-produk Aceh demi membangkitkan perekonomian rakyat Aceh". Tutup Ziaul.