Relasi Nasional | Artikel - Jangkauan keilmuan Islam meliputi tiga periode, mempelajari keilmuan Islam bisa melalui kitab mutaqaddimin bisa juga melalui kitab mutaakkhirin, bisa juga melalui muashirah. Maksud dari kitab mutaqaddimin adalah kitab yang ditulis mulai dari masa penulisan hingga awal abad ke 6 H, tepatnya pada era Imam Ghazali. Sedangkan kitab mutaakkhirin adalah kitab yang ditulis dalam bentuk matan, syarah dan hawasyi, mungkin ini diawali pada separuh abad 6 ke atas, untuk mudahnya, katakanlah era Imam ar-Razy. Sedangkan kitab muashirin adalah kitab yang ditulis pada seratus tahun ini. Tiga periode ini mendapatkan polemik di kalangan para ulama.
Pada abad ke 8 H, Ibnu khaldun melalui Muqaddimahnya mengkritik keras terhadap kitab mutakkhirin terkhusus kitab Ibnu Hajib dan madrasahnya, karena menurut Ibnu Khaldun kitab mutaakkhirin malah menghambat pemahaman terhadap kandungan ilmu. Ini disebabkan matan-matannya hampir algaz (teka-teki).
Abu Ishaq Syatibi sepakat dengan Ibnu Khaldun dalam persoalan ini. Namun, alasan Imam syatibi berbeda dengan Ibnu Khaldun, Imam Syatibi memberi alasan bahwa kitab mutaqaddimin lebih baik daripada kitab mutaakkhirin, karena tokoh mutaqaddimin lebih rasikh dalam sisi keilmuan.
Pandangan ini di masa muashirah, dipopulerkan oleh Syekh Muhammad Abduh dan madrasahnya. Di masa beliau, Kitab mutaakkhirin dikritik dan dijadikan sebagai penyebab kemunduran keilmuan Islam. Maka jangan heran, dalam kitab-kitab tarikh tasyri periode mutakkhirah dianggap sebagai periode jumud dan taqlid. Dan anggapan ini, dipengaruhi oleh Muhammad Abduh dan madrasahnya.
Polemik ini pernah diungkapkan oleh Mahmud Syakir dan Syekh Muhyiddin Abdul Hamid tentang pembubaran Kitab mutaakkhirin yang dilakukan oleh sebagian pengikut Muhammad Abduh. Di samping itu, ada pihak yang bersikukuh dengan kitab mutaakhirah, seolah-olah mengabaikan kitab mutaqaddimah. Pihak ini menganggap ilmu itu hanya ada di kitab mutakkhirah, lupa mempelajari dan mutalaah kitab mutaqaddimin. Iya memang sih, kitab mutakkhirin tahqiq ilmiyahnya sudah selesai, karena melaui kitab mutakkhirin kita mengetahui status masalah, seperti rajih, mukhtar, aswab, dhaif, marjuh. Namun, penjelasan masalah dan penguraiannya tetap di kitab mutaqaddimin.
Pihak ini menemukan rasa kesulitan dalam kitab mutaakkhirin karena tidak merujuk kitab mutaqaddimin. Karena ini, saya teringat salah satu ungkapan guru saya, bahwa “persoalan rumit yang kita dapatkan di kitab mutaakkhirin akan dituntaskan dengan mutalaah kitab mutaqaddimin dan ini sudah ditajribah”. Tak hanya itu, ada juga sebagian cendekiawan yang hanya berfokus pada kitab muashirah. Kebanyakan kitab muashirah berbentuk penelitian, mengubah bahasa kitab sebelumnya dengan bahasa yang sesuai dengan masa sekarang. Satu fashal dalam kitab mutaakkhirin dibahas dalam kitab muashirah bisa sampai satu jilid.
Alaa kulli hal, qultu: tiga periode ini bisa kita satukan dalam satu bingkai, kitab mutaakhirah adalah sebagai kitab pembentukkan malakah, karena kitab itu ditulis untuk kaderisasi calon-calon ilmuwan Islam. Adapun kitab mutaqaddimin sebagai perluasan ilmu yang sudah didapatkan di kitab mutaakkhirin. Sedangkan kitab muasshirah sebagai penghidupan terhadap apa yang sudah dipelajari di kitab mutaakkhirin dan mutaqaddimin. Karena kitab muashirah sebagai jembatan antara ilmu qadim dengan ilmu hadis periode ilmu ini. Maka jangan abaikan tiga kitab periode ini. Wallahu a’lam.
Penulis: Muhammad Zulfa