Penulis : Muhammad Fadli peserta LK III HMI Badko Jambi |
OPINI - Konsep Negara Demokrasi dan Negara Otoritarianisme sangatlah jauh berbeda, baik dari normatif ataupun empirik di lapangan nya, saat ini banyak Negara yang menganut dua paham ini.
Demokrasi di artikan sebagai model pengelolaankekuasaan pemerintahan yang meng-asumsikan prinsip kesamaan intrinsik semua orang, kebebasan berpikir dan otonomi individu (Aron, 1993; Dahl, 1992; Hook, 1994), dengan kata lain penghargaan pada nilai-nilai kemanusiaan dan otonomi merupakan inti dasar atau prinsip etis dari praktek demokrasi.
Demokrasi dilahirkan kembali oleh perubahan kultural pencerahan (enlightenment) yang terjadi pada abad 17 yang menekankan pada kemerdekaan untuk berpikir, sikap otonom serta penghormatan terhadap martabat manusia.
Dahl (1992) menyatakan pemerintahan demokratis hanya mungkin muncul jika rakyatnya memiliki keyakinan bahwa setiap warga negara layak untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan yang berpengaruh terhadap nasibnya.
Dalam sistem pemerintahan demokratis diasumsikan bahwa rakyat (demos) mampu membuat keputusan atau kebijakan yang mengikat semua anggotanya. Prinsip yang dipegang adalah bahwa sebagian besar orang dewasa memenuhi syarat untuk memerintah dirinya sendiri (prinsip persamaan yang kokoh atau strong principle of equality) (Dahl, 1992).
Prinsip persamaan kokoh ini mengasumsikan dua prinsip lain yaitu prinsip kesetaraan atau persamaan intrinsik serta prinsip otonomi pribadi. Canetti-Nissim (2004) mendefinisikan dukungan terhadap demokrasi sebagai penempatan keyakinan-keyakinan demokrasi sebagai nilai-nilai tertinggi, seperti keyakinan akan hak-hak minoritas, jaminan hukum, dan kebebasan berbicara.
Miklikowska (2012) menggunakan pendapat Dahl untuk merumuskan nilai demo krasi sebagai prinsip-prinsip pemerintahan demokratis yang membedakannya dari bentuk pemerintahan lain, yaitu: kesamaan (equality), keadilan tidak memihak, pemi lihan umum dan kebebasan menyatakan pendapat.
Di dalam kajian meta-analisis ini dukungan pada demokrasi akan diindi-kasikan oleh sikap dukungan seseorang terhadap bentuk pemerintahan demokratis, sikap dukungan terhadap nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia serta sikap terhadap perbedaan yang termanifestasi pada gejala intoleransi.
Kajian tentang otoritarianisme sudah dimulai sekitar menjelang perang dunia kedua dan sesudahnya. Erich Fromm (1960) memahami otoritarianisme sebagai suatu karakter sosial yakni kanalisasi dorongan-dorongan eksistensial untuk menjalin relasi dengan sesama secara tidak produktif.
Bentuk ideal relasi antar manusia adalah cinta, sedang otoritarianisme adalah anti-tesisnya, yaitu dominasi submisi. Orang-orang otoritarian memandang realitas secara sempit sebagai tempat perebutan kekuasaan. Ada yang di atas dan ada yang di bawah, dan tidak ada solidaritas antar manusia (Fromm, 1960). Kehidupan seseorang ditentukan oleh kekuasaan yang lebih besar dari dirinya sendiri dan cara terbaik untuk hidup adalah tunduk pada kekuasaan yang lebih besar dan menindas pihak yang lebih rendah. Karakter ini akan menguat ketika seseorang merasa tak berdaya.
Tema dasar tentang relasi hierarkis dan faktor determinan yakni ; rasa ketidakberdayaan akibat perubahan yang tak mampu ditanggung subjek ini akan terus muncul dalam kajian-kajian otoritarianisme di kemudian hari (Adorno, Frenkel-Brunswick, Levinson, & Sanford, 1950; Altemeyer, 2006; Duckitt, 2009; Feldman, 2003; Jost, Federico & Napier, 2009; Stenner, 2005; 2009).
Namun dengan pemahaman yang berbeda. Adorno, Frenkel-Brunswick, Levinson, & Sanford (1950) serta Altemeyer (2006) memandang otoritarianisme sebagai salah satu bentuk kepribadian. Mereka mendefinisikan otoritarianisme sebagai kecenderungan kepribadian untuk tunduk dan taat pada otoritas maupun kelompok baik yang termanifestasikan dalam pribadi-pribadi orang yang berkuasa (otoritarian submisif) maupun nilai-nilai normatif (konvensionalisme) serta kecenderungan untuk bersikap dan bertindak agresif terhadap orang atau kelompok orang yang dianggap berbeda dan menentang nilai nilai masyarakat (otoritarian agresif).
Adorno et al. (1950) dengan menggunakan hipotesis psikoanalitik menambahkan beberapa karakter kognitif dan afektif seperti pikiran stereotipe kaku, keyakinan pada gejala-gejala supranatural, sikap membenci kelemah lembutan dan kemanusiaan, identifikasi diri pada kekuasaan dan gambaran dunia yang berbahaya. Skala F yang disusun oleh Adorno et al (1950) mencakup kepribadian dasar otoritarianisme maupun karakteristik kognitif-afektif tersebut.
Altemeyer (2006) menyederhanakan skala F dengan menyusun skala Right Wing Authoritarianism yang mempertahankan tiga karakter inti otoritarianisme (otoritarianisme submisif, agresif dan konvensional). Studi-studi tentang otoritarianisme banyak dipakai untuk menjelaskan keterkaitan kepribadian dengan prasangka maupun kebencian (Faturochman, 1993).
Studi-studi selanjutnya memandang otoritarianisme sebagai sikap sosial-politik yang dimotivasikan oleh rasa cemas terhadap ancaman dan ketidakpastian. Jost, Federico dan Napier (2009) menekankan soal kebutuhan eksistensial untuk memper-oleh rasa aman serta kebutuhan epistemik untuk memperoleh kepastian, sedang Duckit dan kawan kawan (Duckitt, 2001; Duckitt dan Sibley, 2010) menekankan soal gambaran dunia yang berbahaya serta disposisi kepribadian konformistik atau ketidakterbukaan pada pengalaman.
Kajian-kajian yang dilakukan mereka menggunakan alat ukur RWA dari Altemeyer (1998; 2006) sedangkan kajian-kajian yang dilakukan oleh Jost dan kawan-kawan (Jost, Federico, & Napier, 2009; Jost, Glaser, Kruglanski dan Sulloway, 2003; Jost, Nosek dan Gosling, 2008) lebih menekankan polaritas sikap politik kiri-kanan yang ditandai oleh dua polaritas: egalitarianisme-hierarki sertamenyambutperubahan versus menolak perubahan.
Kebijakan Negara yang Otoritarianisme
Melihat arah kebijakan pemerintah saat ini pergeseran dari negara Demokrasi menjadi negara otoritarianisme sangatlah terasa di tengah kehidupan masyarakat,
kebijakan-kebijakan yangdikeluarkan membuat penguasa seakan-akan tidak bisa untuk disentuh dalam konotasi "Watchdog".
Seperti lahirnya UU Omnibus Law yang membuat kekuasaan bersifat Sentralistik, RKUHP yang berisi pasal anti kritik terhadap kekuasaan Negara, menggunakan instrumen hukum untuk menangkap oposisi, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme semakin meningkat, kebebasan Sipil yang semakin terkukung dan banyak contoh lain lagi yang mendeskripsikan Indonesia sedang bertransisi dari negara Demokrasi menjadi negara otoritarianisme.
Seharusnya ini menjadi kesadaran kolektif kita bersama, baik itu mahasiswa, pemuda, akademisi, guru besar, petani, buruh, dan komponen masyarakat lainnya agar perubahan menjadi negara otoritarianisme ini tidak terjadi, karena selain bertentangan dengan nilai Demokrasi, juga bertentangan dengan konstitusi dan falsafah kita dalam bernegara.
Penulis : Muhammad Fadli peserta LK III HMI Badko Jambi
==========
Mukhtar Efendi