Masjid Agung Sultan Jeumpa Bireuen [dok. Rahmat T Geurugok] |
Relasinasional.com - Kabupaten Bireuen, yang kini menjadi salah satu daerah berkembang di Aceh, memiliki sejarah panjang dan penting. Dikenal dulu sebagai Kerajaan Jeumpa, wilayah ini dulunya merupakan salah satu kerajaan kecil di Aceh. Berdasarkan catatan Ibrahim Abduh dalam Ikhtisar Radja Jeumpa, kerajaan ini terletak di Desa Blang Seupeung, Kecamatan Jeumpa, Bireuen.
Namun, seperti kerajaan kecil lainnya di Aceh, Jeumpa mengalami pasang surut, terutama setelah kedatangan Portugis di Malaka pada 1511 dan Belanda pada 1904, yang berhasil menduduki benteng Kuta Glee di Batee Iliek, bagian barat Bireuen. Penaklukan ini menandai titik penting dalam sejarah Bireuen yang kemudian menjadi bagian dari kekuasaan kolonial Belanda.
Bireuen dalam Sistem Administrasi Kolonial
Pada 7 September 1934, pemerintah kolonial Belanda membagi Aceh menjadi enam Afdeeling (kabupaten), salah satunya adalah Afdeeling Noord Kust van Aceh (Aceh Utara), yang dibagi lagi menjadi beberapa kewedanan, termasuk Bireuen. Setelah Indonesia merdeka pada 1945 dan melalui berbagai perubahan administratif, Bireuen resmi menjadi kabupaten tersendiri pada 12 Oktober 1999, setelah lepas dari Aceh Utara.
Potensi Ekonomi dan Sektor Agraris
Terletak di jalur strategis Banda Aceh-Medan, Bireuen menjadi wilayah transit yang maju. Kabupaten ini didominasi sektor agraris dengan lebih dari 52% wilayahnya merupakan lahan pertanian. Tanaman pangan, terutama padi dan kedelai, menjadi andalan ekonomi Bireuen, dengan luas lahan mencapai 29.814 hektar. Sentra produksi padi berada di Samalanga, Peusangan, dan Gandapura, yang didukung oleh irigasi dari sungai-sungai yang bermuara ke Selat Malaka, termasuk irigasi Pante Lhong yang memanfaatkan air dari Krueng Peusangan.
Selain padi dan kedelai, Bireuen juga dikenal sebagai penghasil pisang, terutama di Kecamatan Jeumpa, yang terkenal dengan produk olahan keripik pisangnya. Komoditas lokal lain yang menjadi kebanggaan Bireuen adalah giri matang, sejenis jeruk bali yang hanya tumbuh di Matang Geulumpangdua.
Potensi Kelautan dan Industri
Potensi kelautan Bireuen juga menjanjikan, terutama di Kecamatan Peudada yang memiliki Pusat Pendaratan Ikan (PPI) serta budidaya udang windu. Pemerintah Kabupaten Bireuen juga telah menetapkan kawasan Gle Geulungku sebagai area pengembangan industri. Untuk sektor pariwisata, Bireuen menawarkan pesona alam seperti Krueng Simpo dan Batee Iliek, dua sungai dengan panorama yang menawan.
Sejarah Kepahlawanan Bireuen
Sebagai "Kota Juang," Bireuen menyimpan kisah-kisah heroik perjuangan melawan penjajah. Salah satu pertempuran paling bersejarah adalah pertempuran di benteng Batee Iliek, daerah terakhir yang diserang Belanda pada masa kolonial. Selain itu, ada juga Kubu Syahid Lapan di Simpang Mamplam, sebuah tempat ziarah yang menjadi saksi heroik delapan syuhada yang tewas melawan pasukan Belanda pada 1902.
Para pahlawan ini berhasil menewaskan 24 prajurit Belanda dari pasukan Marsose, namun kemudian gugur ketika pasukan Belanda lainnya menyerang dari arah Jeunieb. Delapan syuhada tersebut dimakamkan di kawasan Tambue, Kecamatan Simpang Mamplam, dan makam mereka dikenal sebagai Kubu Syuhada Lapan.
Kesimpulan
Kabupaten Bireuen bukan hanya menyimpan sejarah panjang sebagai bagian dari peradaban Aceh, tetapi juga memiliki potensi ekonomi yang besar, terutama di sektor pertanian, kelautan, dan industri. Dengan lokasinya yang strategis dan kekayaan alamnya, Bireuen terus berkembang menjadi salah satu daerah penting di Aceh. Baik sebagai wilayah transit, pusat agraris, hingga simbol perjuangan, Bireuen menjadi bukti kebangkitan Aceh dari masa kolonial hingga era modern. (mis/red)
Referensi: bireuenkab.go.id