Tupperware Diambang Kebangkrutan, Berjuang Hadapi Utang Mencapai Rp 12 Triliun [dok. Istimewa] |
Relasinasional.com - Produsen wadah plastik yang populer di kalangan ibu-ibu, Tupperware, dilaporkan tengah bersiap mengajukan kebangkrutan dalam waktu dekat. Menurut laporan Reuters, perusahaan asal Amerika Serikat ini sedang mencari perlindungan pengadilan setelah gagal memenuhi persyaratan utangnya yang mencapai lebih dari US$ 700 juta atau sekitar Rp 10,85 triliun.
Upaya kebangkrutan ini terjadi setelah perundingan yang berkepanjangan antara Tupperware dan para krediturnya terkait cara mengelola beban utang yang membengkak. Saham Tupperware pun langsung anjlok 15,8%, menjadi hanya 43 sen setelah kabar kebangkrutan mencuat, dan kapitalisasi pasar perusahaan telah menyusut hingga 95% dalam tiga tahun terakhir.
Kinerja Tupperware Terpuruk
Sejak didirikan 77 tahun lalu oleh ahli kimia Earl Tupper, Tupperware telah menjadi ikon dalam industri wadah makanan. Namun, beberapa tahun terakhir, perusahaan ini mengalami penurunan drastis dalam kinerja keuangannya. Bahkan, pada awal tahun lalu, manajemen Tupperware mengungkapkan adanya "keraguan substansial" terkait kemampuan perusahaan untuk tetap beroperasi.
Dalam laporan terbaru kepada Komisi Sekuritas dan Bursa Amerika Serikat (SEC), Tupperware menyatakan tidak mampu melaporkan kinerja keuangan kuartal terbarunya tepat waktu dan juga kesulitan menyelesaikan laporan tahunan untuk tahun 2023. Terkahir kali, Tupperware melaporkan kinerjanya pada kuartal ketiga tahun 2023, yang menunjukkan perusahaan sedang menghadapi tantangan likuiditas yang serius.
Salah satu masalah utama adalah penurunan drastis dalam departemen akuntansi perusahaan, termasuk pengunduran diri Chief Financial Officer (CFO), yang memperburuk kesenjangan sumber daya dan keahlian di dalam organisasi. Dalam upaya untuk bertahan, Tupperware saat ini fokus pada dua strategi utama: diskusi dengan calon investor dan mitra pembiayaan untuk mendapatkan dana jangka pendek serta mengimplementasikan rencana restrukturisasi bisnis.
Pembiayaan Jangka Pendek
Pada 12 Agustus 2024, Tupperware mendapatkan pembiayaan jangka pendek (Bridge Loan Credit Agreement) dari GLAS USA LLC sebesar US$ 8 juta, dengan US$ 4 juta telah ditarik dan sisanya tersedia berdasarkan penilaian lebih lanjut oleh pemberi pinjaman. Namun, dengan total utang yang mencapai US$ 777 juta atau sekitar Rp 12 triliun hingga akhir September 2023, dana tersebut hanya memberikan sedikit ruang bagi perusahaan untuk bernafas.
Tantangan Usai Pandemi
Selama pandemi, Tupperware sempat menikmati lonjakan permintaan karena banyak orang yang lebih sering memasak di rumah. Namun, setelah pandemi mereda, perusahaan kesulitan bersaing dengan merek-merek wadah penyimpanan lain yang lebih inovatif dan agresif dalam memanfaatkan platform media sosial seperti TikTok dan Instagram untuk menarik perhatian konsumen muda.
Penjualan Tupperware terus menurun, bahkan pada tahun 2022 mengalami penurunan sebesar 18%, menjadi sekitar US$ 1,3 miliar dibandingkan tahun sebelumnya. Perusahaan pun terpaksa mempertimbangkan langkah pemutusan hubungan kerja (PHK) serta penjualan aset real estat untuk mempertahankan kelangsungan bisnisnya.
Situasi semakin memburuk ketika Bursa Saham New York mengeluarkan peringatan bahwa Tupperware terancam dikeluarkan dari pasar saham karena terlambat dalam menyampaikan laporan keuangannya. Hal ini semakin mempertegas betapa gentingnya kondisi perusahaan.
Upaya Bertahan
Untuk mengatasi krisis ini, Tupperware telah menunjuk sejumlah penasihat keuangan dan hukum, termasuk Moelis & Co., Kirkland & Ellis LLP, serta Alvarez & Marsal, guna merancang strategi penyelamatan perusahaan dari kemungkinan kebangkrutan. Juru bicara Tupperware juga menyebut bahwa perusahaan sedang bekerja keras untuk memperbaiki struktur modal, sama seperti yang dilakukan oleh banyak perusahaan yang terdampak oleh pandemi, inflasi, dan suku bunga tinggi.
Namun, tantangan Tupperware tidak hanya berasal dari dalam, tetapi juga dari perubahan preferensi konsumen yang semakin bergeser. Setelah pandemi, perusahaan melihat penurunan drastis dalam jumlah penjual serta konsumen loyal mereka. Merek ikonik yang pernah mendominasi dapur-dapur rumah tangga kini harus bersaing dengan merek-merek baru yang lebih adaptif terhadap tren digital dan platform e-commerce.
Dengan berbagai masalah tersebut, Tupperware kini berada di persimpangan jalan. Apakah perusahaan ini mampu bertahan di tengah tekanan utang dan perubahan lanskap bisnis, atau akan menjadi salah satu korban besar dari krisis ekonomi pasca-pandemi? Hanya waktu yang akan menjawab.
Tupperware, merek wadah plastik legendaris, kini berada di ambang kebangkrutan. Setelah berjuang melawan beban utang yang membengkak dan tantangan internal serta eksternal, masa depan perusahaan ini semakin tidak pasti. Perjalanan panjang Tupperware untuk bertahan hidup dalam industri yang semakin kompetitif akan terus menarik perhatian para pengamat bisnis di seluruh dunia. (mis/red)